Senin, 21 April 2008

Pengasuhan anak



Bab ini dan juga bab sebelumnya telah dibahas bagaimana orangtua dapat meningkatkan kompetensi anak melalui praktek-praktek seperti : membangun hubungan pertemanan dan kerjasama anatara orangtua dan anak, memberi contoh/teladan kepada anak, mendisiplinkan anak disertai dengan penjelasan (mengapa perlu aturan pendisiplinan), dan memberikan semangat kepada anak untuk mencoba sesuatu yang baru. Berikut ini akan dibahas bagaimana praktik-praktik tersebut membentuk pengasuhan anak yang efektif.

Gaya Pengasuhan Anak
Gaya pengasuhan anak merupakan kombinasi dari perilaku pengasuhan yang muncul dari berbagai macam situasi. Dalam sebuah pengamatan berseri, Diana Baumrind menemukan 3 gaya pengasuhan dan membuat peringkat dari yang paling efektif sampai yang kurang efektif: 1) Penerimaan dan keterlibatan, 2) pengendalian, 3) pemberian otonomi (Baumrid, 1971; Gray & Steinberg, 1999; Hart, Newell, & Olsen, 2003). Tabel 1.1 menunjukkan perbedaan masing-masing gaya pengasuhan anak.

· Gaya Pengasuhan Otoritatif. Gaya ini merupakan gaya pengasuhan yang paling efektif dan berhasil. Melalui gaya ini, orangtua melibatkan diri dan menerima anak secara penuh, menggunakan teknik-teknik pendisiplinan yang fleksibel dan adaptif, serta pemberian otonomi kepada anak secara tepat (yaitu mempersilakan anak untuk belajar membuat keputusan untuk dirinya sendiri). Orang tua yang otoritatif biasanya hangat, penuh perhatian dan sensitive terhadap kebutuhan anak. Orangtua juga sangat menikmati hubungan kedekatan emosionalnya dengan anak (Kuczynski & Lollis, 2002; Russell, Mize, & Bissaker, 2004).
Gaya otoritatif terhadap kompetensi, sikap dan perilaku anak dimasa kanak-kanak dan remaja juga sangat efektif. Di masa kanak-kanak dan remaja sifat-sifat yang muncul biasanya positif, seperti: periang, pengendalian diri yang tinggi, teguh dalam pendirian, kooperatif, percaya diri, dewasa secara moral dan social, dan berprestasi tinggi di sekolah (Amato & Fowler, 2002; Aunola, Stattin, & Nurmi, 2000; Luster & McAdoo, 1996; Mackey, Arnold, & Pratt, 2001; Steinberg, Darling, & Fletcher, 1995).
Gambar, 1.1. Ayah dalam gambar ini menggunakan gaya otoritatif. Dia membiarkan anaknya memilih dan mengepas bajunya sendiri untuk dipakai jalan-jalan bersma keluarga. Sang ayah memberikan otonomi kepada si anak dan membiarkan anak mengekspresikan pikiran dan pendapatnya


§ Gaya Pengasuhan Otoritarian. Adalah gaya pengasuhan yang kental dengan ciri: tidak adanya penerimaan dan keterlibatan secara penuh antara orangtua dan anak, pengawasan dan pengendalian yang dilakukan bersifat memaksa dan pemberian hak otonomi kepada anak yang rendah. Orangtua yang otoritarian biasanya bersikap dingin dan memusuhi. Mereka memaksakan perintah atau kehendak dengan berteriak, mengancam. Anak dipaksa untuk melakukan kehendak orangtua tanpa syarat (tidak boleh membantah, dan apabila anak menolak mereka akan dihukum.
Anak yang dibesarkan dengan cara otoritarian biasanya memiliki sifat murung, penakut, tidak percaya diri dan cenderung bertindak kasar apabila frustasi. Anak laki-laki biasanya menunjukkan tingkat kemarahan yang tinggi, sedangkan anak perempuan akan memiliki sifat ketergantungan yang tinggi (Hart, Newell, & Olsen, 2003; Nix et.al., 1999; Thompson, Hollis, & Richarrds, 2003).
Dalam mengendalikan dan mengawasi anak-anaknya, orangtua yang otoritarian menggunakan teknik kontrol yang tidak kelihatan/halus, yaitu kontrol atau pengendalian secara psikologis. Misalnya; meremehkan pendapat anak, membenci atau memusuhi anak ketika anak melawan. Orangtua otoritarian biasanya juga memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap anak yang dikendalikan secara psikologis biasanya akan memiliki sifat, penakut, pembangkang, dan agresif (Barber & Harmon, 2002; Silk et al., 2003).

§ Gaya Pengasuhan Toleran. Orangtua yang toleran biasanya hangat dan memiliki penerimaan penuh terhadap anak, tetapi terlalu baik dan cenderung tidak perhatian. Pengawasan terhadap anak sangat sedikit, dan mereka memberikan kebebasan kepada anak untuk membuat keputusan apapun meskipun anak belum siap melakukannya. Misalnya: anak diperbolehkan makan atau tidur kapan saja (tanpa ada pengaturan waktu yang jelas), atau mereka dapat nonton TV sepuas-puasnya. Anak-anak dengan orangtua yang toleran tidak mendapat pendidikan mengenai norma/aturan yang baik. Beberapa orangtua percaya bahwa metode ini efektif, namun banyak diantara para orangtua yang meragukan metode ini.
Anak dengan orangtua yang toleran memiliki sifat-sifat sebagai berikut: pembangkang, pemberontak, memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap orang dewasa, dan tidak tekun dalam mengerjakan tugas. Ciri-ciri ini biasanya akan lebih menonjol pada anak laki-laki (Barber & Olsen, 1997; Baumrind, 1991, 1997).

§ Gaya Pengasuhan Acuh/tidak Peduli. Orangtua tidak memiliki penerimaan dan keterlibatan yang penuh terhadap anak. Kondisi ini biasanya terjadi karena orangtua mengalami stress dan depresi sehingga tidak lagi memiliki waktu untuk mengasuh anak-anaknya. Dalam istilah yang paling ekstrim orangtua “mengabaikan’ anak-anaknya. Jika anak-anak sudah diabaikan sejak masa kecil maka di kemudian hari mereka akan terganggu secara emosional, social, cara berpikir, dll (Lihat Bab 8 hal.187 dalam buku laura berk 2007). Lebih lanjut, meskipun tingkat pengabaian orang tua masih rendah, namun anak-anak biasanya akan menunjukkan sifat seperti: tidak bisa mengendalikan diri, tidak berprestasi di sekolah dan memiliki perilaku antisocial (Aunola, Stattin, & Nurmi, 2000; Kurdek & Fine, 1994).

Mengapa Gaya Otoritatif Efektif?
Hubungan antara gaya pengasuhan dengan perkembangan anak masih dapat diperdebatkan secara terbuka. Namun demikian, nampaknya gaya otoritatif merupakan gaya pengasuhan yang paling efektif, karena anak memiliki sifat-sifat positif seperti patuh dan kooperatif. (Hart, Newell, & Olson, 2003; Olson et al., 2000; Rubin, Burgess, & Coplan, 2002). Nampaknya gaya otoritarian secara emosional mampu membawa pengaruh positif pengasuhan kepada anak dalam beberapa aspek berikut:
, Hangat, orangtua yang memiliki keterlibatan dan penerimaan penuh terhadap anak dan dengan standar-standar yang dibuat, orangtua dapat diandalkan oleh anak, memberikan model atau contoh kepada anak tentang perilaku atau sifat percaya diri, dan pengendalian diri.
, Anak-anak cenderung untuk mematuhi hal-hal yang sifatnya adil, masuk akal dan tidak membingungkan (konsisten).
, Orangtua yang otoritatif memberikan kepada anak untuk membuat keputusan, hal ini mendorong dan mengembangkan nilai-nilai percaya diri, cara berpikir dan kedewasaan social pada anak.
, Aspek-aspek yang supportif dalam gaya otoritatif membantu anak untuk tetap stabil dari pengaruh negative kondisi keluarga seperti kemiskinan dan stress (Beyers et.al., 2003).
Dalam perkembangannya hubungan antara gaya pengasuhan dengan perkembangan anak menunjukkan arah yang berlawanan (Kuczynski, 2003).

Tabel 1.1. Karakteristik/Ciri Gaya Pengasuhan Anak
Gaya Pengasuhan Anak
Penerimaan dan Keterlibatan
Pengendalian/Pengawasan
Pemberian Otonomi
Otoritatif
Hangat, cepat tanggap, pengertian dan sensitive terhadap kebutuhan anak
Tuntutan kepada anak untuk bersikap dewasa dijelaskan secara konsisten sehingga mudah dipahami anak
Mengijinkan anak untuk membuat keputusan pada saat anak-anak merasa siap
Otoritarian
Dingin, memusuhi, seringkali tidak menghargai/merendahkan anak
Tuntutan seringkali dipaksakan, menggunakan hukuman. Seringkali menggunakan kontrol psikologis seperti: tidak lagi menyayangi anak dan merusak kemandirian anak
Orangtua adalah pembuat keputusan untuk anaknya. Jarang sekali mendengarkan pendapat anak
Toleran
Hangat namun memberikan perhatian terlalu berlebihan
Sedikit atau bahkan tidak ada tuntutan untuk bersikap dewasa
Mengijinkan anak membuat keputusan apa saja, meskipun anak belum siap melakukannya
Acuh/Tidak Peduli
Tidak memiliki hubungan emosional dengan anak
Sedikit atau bahkan tidak ada tuntutan untuk bersikap dewasa
Tidak peduli apakah anak siap atau tidak dalam membuat keputusan

Variasi Budaya
Meskipun gaya otoritatif dianggap paling efektif dalam membantu perkembangan emosional dan perilaku anak, namun perbedaan budaya dan etnis memiliki keyakinannya masing-masing didalam gaya pengasuhan anak, seperti beberapa contoh berikut ini.
Dibandingkan dengan orangtua di Negara Barat, orangtua Cina memiliki gaya pengasuhan terkendali (Chao, 1994; Wu et al., 2002). Mereka mengajar dengan petunjuk yang jelas, memberikan jadwal/pengaturan waktu bagi anak-anak, mendorong anak untuk dapat mengendalikan diri serta mendorong anak untuk berprestasi. Orangtua di Cina tidak begitu hangat terhadap anak-anaknya karena mereka menganggap terlalu banyak memuji anak, menyebabkan anak cepat puas dan tidak termotivasi (Chen et al., 2001). Namun demikian sebuah studi menemukan bahwa para ayah di Cina, meskipun berkarakteristik tegas, memiliki tingkat kehangantan yang sama dengan para ayah di kalangan kulit putih Amerika (Jose et al., 2000; Schwalb et al., 2004). Pada saat orang tua Cina menunjukkan sikap memaksakan kehendak, kontrol berlebihan terhadap anak, anak akan menunjukkan gejala emosi negative yang sama dengan anak-anak di Negara Barat seperti: penakut, depresi dan agresif (Nelson et al., 2005; yang et al., 2003).
Pada keluarga Hispanik dan Kepulauan Asia Pasifik, otoritas orangtua sangat dijunjung tinggi, terutama para ayah. Sehingga ayah biasanya lebih hangat dan sensitive, serta menghabiskan waktu lebih banyak bersama anak-anak (Cabrera & Garcia-Coll, 2004; Jambunathan, Burts, & Pierce, 2000).
Pada keluarga SES rendah kaum African-American, gaya pengasuhan cenderung tegas. Orangtua menginginkan anak supaya menurut, menuntut anak-anak dapat mengendalikan diri, mengawasi dengan ketat anak-anak pada lingkungan yang berisiko. Namun demikian anak-anak kulit hitam Amerika menunjukkan tingkat kompetensi dan kognisi yang tinggi (Brody & Flor, 1998). Perlu diingat pada pembahasan sebelumnya bahwa hukuman fisik pada anak kulit hitam di Amerika memiliki korelasi dengan rendahnya perilaku anti social dikalangan remaja kulit hitam dan kondisi sebaliknya pada remaja kulit putih (lihat halaman 268). Hal ini terjadi karena orangtua African-American memberikan hukuman fisik yang disertai dengan kehangatan (Bluestone & TAmis-Le Monda, 1999).
Adanya variasi budaya mengingatkan kita untuk melihat bahwa gaya pengasuhan anak harus dilihat dalam konteks yang lebih luas.
Dalam topik kekerasan pada anak (maltreatment) diskusi akan lebih ditekankan bahwa pengasuhan anak yang efektif akan bertahan tidak hanya dipengaruhi oleh niat baik kedua orangtua untuk menjadi orangtua yang baik. Tetapi juga harus ada dukungan dari anak, untuk menjadi anak yang baik. Jika dukungan terutama orangtua hilang, maka anak (dan juga orangtua) akan menderita.

Kekerasan pada Anak
Kekerasan pada anak merupakan sejarah lama, namun baru akhir-akhir ini diketahui dan diteliti penyebabnya. Kekerasan pada anak pada umumnya terjadi di Negara-negara industry besar. Akhir-akhir ini dilaporkan 906.000 anak-anak Amerika (12 dari 1000) dan 136.000 anak-anak di kanada (10 dari 1000) adalah korban kekerasan (Hovdestad et al., 2005; US Department of Health and Human Services, 2005c). namun demikian banyak kasus yang belum dilaporkan, sehingga ada kemungkinan angka tersebut menjadi lebih tinggi.
Kekerasan pada anak meliputi bentuk seperti:
N Kekerasan Fisik: seperti menendang, menggigit, mendorong, dll yang mengakibatkan luka fisik
N Kekerasan seksual: meraba, sanggama, eksploitasi komersial melalui prostitusi dan pornografi
N Penelantaran: menelantarkan anak dengan tidak menyediakan makanan yang cukup, pakaian, dan kesehatan
N Kekerasa emosional: tindakan yang mengakibatkan gangguan mental maupun perilaku seperti: isolasi, pemaksaan kehendak yang berulang-ulang, mentertawakan, menghina, intimidasi dan terror.
Orangtua melakukan 80% kekerasan, sedangkan sanak saudara dan kerabat lain melakukan 7% kekerasan terhadap anak. Dalam hal ini yang termasuk dalam kerabat misalnya: pasangan/pacar dari orangtua, pegawai sekolah (guru), pengasuh perkemahan dan orang dewasa lainnya. Para ibu melakukan penelantaran lebih sering dibandingkan para ayah, sementara para ayah melakukan kekerasan seksual lebih sering dibandingkan para ibu. Bayi dan batita berisiko tinggi terhadap kekerasan penelantaran, sedangkan balita dan usia sekolah (dasar) berisiko terhadap kekerasan fisik, emosional dan seksual (Trocome & Wolfe, 2002; US Department of Health and Human Services, 2005c). Korban kekerasan seksual biasanya adalah anak usia pertengahan sekolah, dan akan dibahas secara detil di Bab 10.

Asal-Usul Kekerasan Pada Anak
Pada awalnya ditemukan bahwa kekerasan pada anak berakar dari kondisi psikologis orang dewasa (orangtua) yang terganggu (Kempe et.al, 1962). Namun demikian tidak ada sebuah sifat yang murni abusive/kasar pada diri seseorang. Belum tentu orangtua yang masa kanak-kanaknya mengalami kekerasan kemudian menjadi keras, malahan banyak orangtua yang masa kecilnya normal tetapi kejam terhadap anak-anaknya (Buchanan, 1996; Simons et al, 1991).
Untuk membantu memahami kekerasan pada anak, para peneliti menggunakan teori system ekologikal (lihat Bab 1 dan Bab 2). Mereka menemukan bahwa variable-variabel lain seperti keluarga, lingkungan dan budaya juga berperan dalam kekerasan pada anak (lihat Tabel 1.2.). Mari kita simak pengaruh masing-masing variabel.
Keluarga. Dalam keluarga, anak yang memerlukan perhatian ekstra seperti, anak premature, overaktif, tidak bisa berkonsentrasi, cacat mental dan lain-lain biasanya berisiko tinggi menjadi korban kekerasan (Sidebotham et al., 2003).
Tabel 1.2. Faktor-Faktor Pemicu Kekerasan pada Anak
Faktor-Faktor
Keterangan
Karakteristik Orangtua
Gangguan Psikologis: mabuk dan alcohol, pernah menjadi korban kekerasan semasa anak-anak, keyakinan akan efektifitas hukuman fisik, anak sebagai pemuas nafsu, usia muda (dibawah 30 tahun), pendidikan rendah
Karakteristik Anak
Prematur atau bayi yang sakit parah, temperamen yang sulit, tidak focus atau over aktif, cacat mental, dll
Karakteristik Keluarga
Penghasilan rendah, tidak memiliki rumah, kondisi perkawinan yang rapuh, isolasi social, kekerasan fisik oleh suami, sering berpindah rumah, keluarga besar dengan rumah kecil, kondisi lingkungan yang tidak tenang, rumah berantakan, tidak memiliki pekerjaan tetap, stress
Komunitas/Lingkungan
Banyak kejahatan dan isolasi social, jumlah taman kota, tempat penitipan anak, tempat rekreasi, TK atau gereja yang sedikit
Budaya
Mengijinkan kekuatan fisik sebagai cara memecahkan masalah

Sumber: Cicchetti & Toth, 2000; Wekerle & Wolfe, 2003
Orangtua pelaku kekerasan biasanya tidak memiliki keahlian yang cukup didalam mendisiplinkan anak. Mereka juga memiliki penilaian yang salah dan bias terhadap arti kenakalan, sehingga seringkali mereka mengartikan kenakalan yang kecil seolah-olah adalah kejahatan fatal. Kondisi ini seringkali berakhir dengan hukuman fisik (Bugental & Happaney, 2004; Haskett et al., 2003).
Sekali kekerasan dilakukan, maka biasanya akan berkembang kedalam suatu bentuk hubungan orangtua-anak dalam jangka panjang. Kesalahan kecil seperti bayi yang rewel, balita yang menumpahkan susu- akan menjadi kesalahan besar. Kekerasan kemudian muncul dan semakin meningkat. Komunikasi yang terjadi dan berkembang antara anak dan orangtua biasanya juga negative (Wolfe, 1999).
Hampir semua orangtua memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri untuk tidak melakukan tindak kekerasan terhadap anak. Factor lain seperti stress yang tidak dapat dikendalikan menyebabkan orangtua cenderung menjadi abusive, dan tingkat emosi menjadi tinggi. Factor lain pemicu kekerasan lain adalah penghasilan rendah, pengangguran, pernikahan dini, penggunaan alcohol dan obat-obatan, konflik perkawinan, lingkungan yang tidak tenang, sering berpindah rumah, dan rumah yang berantakan (Wekerle & Wolfe, 2003).

Lingkungan. Orangtua pelaku kekerasan terhadap anak biasanya akan disingkirkan/dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Namun demikian ada juga orangtua yang sengaja mengucilkan diri, karena berdasarkan pengalaman masa kanak-kanaknya mengakibatkan mereka mudah curiga dengan orang asing. Orangtua semacam ini biasanya juga sulit membina hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar. Lingkungan yang sangat bising dan tidak teratur atau lingkungan yang jauh dari tempat-tempat berkumpulnya komunitas (gereja, taman, tempat penitipan anak, dsb) biasanya dipilih oleh orangtua yang abusive (Coulton, Korbin, & Su, 1999).

Budaya. Nilai-nilai budaya, hukum dan kebiasaan seringkali juga menjadi pemicu tindak kekerasan terhadap anak. Budaya yang mengijinkan kekerasan fisik sebagai jalan keluar pemecahan masalah menjadi pemicu utama tindak kekerasan pada anak. Meskipun undang-undang kekerasan terhadap anak sudah dibuat, seperti misalnya di Amerika dan Kanada, namun tindak kekerasan masih juga terjadi.
Pengadilan Tinggi Amerika telah dua kali menyetujui adanya hukuman fisik yang dilakukan oleh staff sekolah (guru) kepada anak-anak. Sementara itu di Kode Etik Kriminal di Kanada mengijinkan hukuman fisik sepanjang itu masih masuk akal dan pada situasi yang mendesak. Kode etik diatas menunjukkan kepada kita bahwa definisi kekerasan anak ataupun hukuman fisik masih membingungkan, sehingga memebrikan kesempatan kepada orangtua yang abusive untuk melakukan kekerasan terhadap anak. (Justice for Children and Youth, 2003). Hampir semua negara industry, kecuali Amerika dan Kanada saat ini telah melarang sekolah melakukan hukuman fisik (Center for Effective Discipline, 2005).

Konsekuensi (Efek Samping) Kekerasan Terhadap Anak
Lingkungan keluarga dengan praktek-praktek kekerasan terhadap anak, akan merusak perkembangan anak dalam hal : pengendalian diri dan emosi, kemampuan ber-empati dan simpati, kemampuan atas konsep diri, kemampuan bersosialisasi dan peningkatan prestasi akademik. Anak-anak korban kekerasan mengalami kesulitan belajar, beradaptasi, dan tindak kriminal (Shonk & Cicchetti, 2001; Wolfe et al., 2001).
Bagaimana ini bisa terjadi? Ingat kembali diskusi sebelumnya mengenai siklus kekerasan pada interaksi orangtua-anak. Kekerasan terhadap pasangan juga memiliki korelasi yang tinggi dengan kekerasan terhadap anak (Cox, Kotch, & Everson, 2003). Singkatnya rumah dimana anak korban kekerasan tinggal menjadi tempat yang tepat bagi anak untuk belajar menggunakan kekerasan sebagai alat pemecahan masalah.
Selain kekerasan fisik, kekerasan emosional seperti tindakan orangtua yang sering menghina, mentertawakan, mengancam, terror, dsb juga berakibat pada rasa percaya diri yang rendah, ketakutan, tindakan menyalahkan diri, depresi, dan usaha untuk lari dari luka emosional, dan yang paling parah adalah berakhir dengan bunuh diri (Wolfe, 1999). Di sekolah anak korban kekerasan emosional akan bermasalah dalamdisiplin. Mereka juga pasif, tidak termotivasi, dan tidak pandai, sehingga berakibat pada ketidaksuksesan hidup dimasa depan (Wekerle & Wolfe, 2003).
Pada akhirnya trauma atas tindak kekerasan berulang akan merusak system syaraf termasuk didalamnya hasil tidak normal atas EEG, hasil MRI juga menunjukkan ukuran otak yang semakin mengecil dan merusak fungsi otak dan memicu produksi hormone stress (Ciccetti, 2003; Kaufman & Charney, 2001).

Mencegah Kekerasan pada Anak
Mengingat kekerasan pada dapat saja terjadi dan dipicu mulai dari level keluarga, komunitas sosial dan lingkungan, maka pencegahan kekerasanpun harus dilakukan pada semua level tersebut.

Tidak ada komentar: